Lompat ke isi utama

Berita

Ciamik!!!, Nur Elya Anggraini Tawarkan Gagasan Pelaksanaan Vaksinasi Ala Pilkada Pandemi

Ketika vaksin dijadikan syarat bepergian dan bisa masuk ke mall, telah memicu antusiasme publik untuk mengikuti vaksinasi. Ini menggembirakan. Hanya saja disayangkan karena ternyata di lapangan tidak dimbangi dengan baiknya teknis layanan. Masyarakat berjubel. Alih-alih menghentikan laju Covid-19, kerumunan ini bisa saja memicu klaster baru.

Problemnya klasik. Urusan administrasi dan tata aturan teknisnya yang perlu diperbaiki lagi. Nyaris kalau kita lihat jalannya vaksinasi yang lalu-lalu, mirip ketika kita sedang beli tiket bola atau tiket konser. Entah kenapa, “antri” dan “menunggu lama” melekat sebagai tradisi kita.

Soal lainnya adalah ketersediaan vaksin. Presiden Joko Widodo memang memberikan perintah agar stok vaksin segera dihabiskan. Masalahnya pasokan vaksin ini tampaknya tidak merata. Ketersediaan vaksin yang sedikit kemudian berkorelasi dengan keinginan masyarakat yang mulai tumbuh ini akan menjadi pemicu penting dari kerumunan.

Walau kita melihat bahwa perubahan perilaku masyarakat untuk mendapatkan vaksin dapat dikategorikan dalam dua motivasi. Pertama, dorongan karena memang kesadaran untuk sehat dan bebas infeksi Covid-19. Kedua, dimotivasi karena faktor kepentingan eksternal demi layanan administrasi publik lainnya (bepergian dan masuk mall).

Jika pandangan kedua benar, maka tidak heran ke depan akan semakin banyak masyarakat yang memburu vaksin. Jangan bicara protokol kesehatan dengan publik yang ingin vaksin demi kepentingan eksternal. Bukannya mendapatkan herd immunity, tetapi bisa memicu lonjakan kasus yang lebih besar lagi.

Jalannya vaksinasi di Indonesia tampaknya masih akan panjang. Data Kementerian Kesehatan RI pada tanggal 12 Agustus 2021 menunjukkan bahwa vaksinasi tahap 1 berjumlah 52.026.916 atau 24,98 persen. Kemudian yang telah menjalani vaksinasi tahap kedua baru mencapai 26.144.162 atau 12.55 persen. Sementara targetnya 208.265.720 sasaran. Hingga kini belum separuh masyarakat yang divaksin.

Untuk itulah, kita perlu cara baru agar vaksinasi berjalan efektif dan efisein dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Tak ada kerumunan dan percepatan vaksinasi bisa tercapai dengan baik.

Vaksinasi ala TPS

Agar bisa mencagah kerumunan, program vaksinasi bisa dilakukan dengan menduplikasi cara Pilkada Pandemi 2020 lalu. Area Tempat Pemungutan Suara (TPS) didesain sedemikian rupa agar selaras dengan protokol kesehatan. Hasilnya, tidak ada kluster baru. Padahal gelaran demokrasi tersebut dilaksanakan serentak di 270 daerah di Indonesia.

Sisi lain, jauh-jauh hari, penyelenggara pemilu telah mendata dan memetakan dengan seksama siapa saja yang boleh mencoblos (daftar pemilih). Para pemilih ini kemudian disebar lokasi coblosanya dengan mempertimbangkan kedekatan geografis, beban jumlah pemilih tiap TPS agar bisa diatur jam coblosnya. Tampaknya, Menteri Kesehatan, Budi Gunawan Sadikin telah menggunakan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk vaksin. Ini langkah yang cukup baik. Sumber data lain yang bisa dipakai oleh pemerintah adalah data milik pemerintah desa, sebab hari ini, rentang usia 12-18 tahun juga dianjurkan ikut vaksin. Rentang usia ini tidak akan ditemukan dalam data milik KPU karena usia anak tidak punya hak pilih.

Sampai titik ini, pemerintah desa dan puskesmas perlu punya langkah yang selaras. Berbekal data milik pemerintah desa, puskesmas mengundang masyarakat untuk vaksin melalui RT-RW setempat.

Selepas urusan data selesai, vaksinasi dapat dilakukan dengan model TPS pilkada. Pertama, perlunya memperbanyak gerai/lokasi vaksin. Sebagaimana TPS, tiap gerai setidaknya memiliki target maksimal. Simulasi ketat bisa dilakukan.

Misal satu desa terdata 5000 orang layak vaksin dengan tenggat penyelesaian 20 hari. Maka setiap hari, minimal 250 orang diundang untuk datang ke lokasi vaksin. 250 orang ini disebar di dua titik, sehingga satu lokasi hanya memvaksin 125 orang dengan durasi waktu, katakanlah 6 jam. Dengan demikian, dalam satu jam, hanya ada 18 orang antri menunggu giliran. Itu artinya, tiap orang punya waktu 2 menit untuk pendaftaran, skrining kesehatan sampai disuntik. Skema ini akan jauh mengurangi kerumunan-kerumunan yang selama ini kerap menjadi tontonan kita saat vasinasi berlangsung.

Tentu saja, lokasi vaksin harus terbuka, menyediakan hand sanitizer, masker, sarung tangan, dan bangku tunggu berjarak minimal 2 meter. Sebisa mungkin, dalam satu lokasi, tidak ada antrian hingga 50 orang. Ketika orang berkumpul dalam jumlah besar, ada potensi untuk berkerumun. Pada saat inilah perlu ada pengawas. Kita percaya aparat keamanan yang terdiri dari TNI/Polri akan bisa mencegah kerumunan masyarakat.

Kedua, perlunya memperbanyak tenaga vaksinator. Ketika gerai vaksin semakin banyak, maka vaksionator dituntut semakin banyak pula. Guna menutupi kebutuhan ini, pemerintah dapat menggandeng sebanyak-banyaknya perguruan tinggi. Mahasiswa kedokteran, keperawatan atau bidan yang memasuki semester akhir dapat dilatih dan terlibat langsung dalam proyek kemanusiaan ini.

Ketiga, pastikan dukungan jaringan yang memadai. Pelaksanaan vaksinasi yang berbasis jaringan internet mensyaratkan server yang handal. Aplikasi PCare dan PeduliLindungi mesti bebas dari ngadat, sebab bila tidak, antrian vaksin akan semakin lama dan panjang.

Vaksinasi ala TPS ini mudah dan bisa diterapkan. Pilkada Pandemi 2020 adalah contoh nyata atas keberhasilannya. Sudah diujikan oleh sejarah. Tak ada antrian, kerumunan, dan yang paling penting bebas dari kluster baru Covid-19. Yang kita hadapi kini adalah varian delta. Penyebarannya dua kali lipat dari varian sebelumnya, sehingga perlu lebih ekstra hati-hati menangananinya.

Vaksin Terstruktur, Sistematis dan Massif

Kita perlu vaksinasi yang terstruktur, sistematis dan massif. Tidak bisa hanya dilakukan secara acak, sporadis dan tidak terukur. Kalau herd imunity tidak tercapai, kita akan hidup seperti petak umpet dengan virus. Kadang longgar dan keluar rumah, kadang tiarap dan harus beraktivitas di rumah.

Vaksinasi ala TPS ini bila dilakukan dengan baik akan menjadi sarana yang efektif dari antusiasme masyarakat yang ingin vaksin. Ini harus segera ditampung dan difasilitasi dengan baik oleh pemerintah sebelum ada lagi varian hoaks yang menyerang dan membuat kendor animo masyarakat.

Vaksinasi yang berhasil dengan baik bisa menciptakan kekebalan kelompok di masyarakat. Sebagaimana di Inggris, meski ada kasus positif tetapi angka kematian menurun. Covid-19 telah menjadi flu biasa. Kalau itu terjadi di Indonesia, bukan hanya ke mall, kita bisa nonton flim di bioskop, neribun bareng di stadion, atau loncat-loncat menyaksikan konser.

Vaksinasi ala pilkada ini murah dan mudah. Tinggal mau atau tidak kita melakukannya. Kalau bisa dipemudah, kenapa harus dipersulit. Entah kalau memang kita hendak mempertahankan budaya antri.

Sumber : BAWASLU – PROVINSI JATIM

Tag
Berita