Adnan Maghribbi: Literasi Politik Jadi Kunci, Demokrasi Tak Bisa Hanya Diserahkan ke KPU dan Bawaslu
|
Madiun, 30 Oktober 2025 — Evaluasi terhadap Pemilu dan Pilkada 2024 perlu dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya dari aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga dari kualitas perilaku politik masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Muhammad Adnan Maghribbi Sairil Ashar dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jawa Timur, dalam kegiatan “Penguatan Kelembagaan Bawaslu melalui Kerjasama Strategis dengan Organisasi Keagamaan dan Stakeholder di Kabupaten Madiun” yang digelar di Aston Hotel Madiun, Kamis (30/10).
Kegiatan yang diinisiasi Bawaslu Provinsi Jawa Timur dengan Bawaslu Kabupaten Madiun ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, anggota DPR, dan lembaga demokrasi, untuk membahas arah penguatan kelembagaan pengawasan pasca Pemilu 2024.
Dalam paparannya, Adnan menyoroti fenomena paradoks demokrasi di Indonesia. Ia menyebut, meski tingkat partisipasi pemilih mencapai 79,9 persen, melampaui Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat, namun kualitas pilihan politik masyarakat masih rendah.
“Partisipasi kita tinggi, tapi kualitasnya masih dipertanyakan. Pemilih hadir di TPS, tapi belum tentu memahami konsekuensi politik dari pilihannya,” ungkap Adnan.
Menurutnya, sistem politik Indonesia yang masih berorientasi pada kemenangan semata membuat banyak aktor politik belum siap menerima realitas kompetisi demokratis. Akibatnya, pendekatan terhadap penyelenggara pemilu pun kerap bersifat pragmatis.
“Aktor-aktor politik kita masih berpikir soal menang, bukan berkompetisi secara sehat. Karena itu, evaluasi pemilu harus dilakukan secara sistemik, bukan hanya prosedural,” tegasnya.
Adnan juga menyoroti perilaku politik generasi Z yang disebutnya sebagai kelompok paling menarik sekaligus anomali.
“Gen Z ini unik. Mereka mendukung nilai-nilai demokrasi, tapi isu-isu penting seperti pelanggaran HAM dan konstitusi tidak terlalu berpengaruh pada pilihan mereka. Banyak yang memilih karena tren, karena FOMO — bukan karena visi,” jelasnya.
Ia menilai, rendahnya literasi politik generasi muda disebabkan oleh dominasi media sosial dalam membentuk persepsi politik, menggantikan interaksi sosial yang edukatif. Karena itu, pendidikan politik, katanya, perlu dihadirkan dalam bentuk baru dan berkelanjutan.
“Pendidikan politik jangan hanya tugas KPU atau Bawaslu, tapi juga harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional,” ujarnya.
Adnan bahkan mencontohkan model pendidikan politik di Jerman, di mana pemahaman tentang demokrasi dikemas lintas kurikulum — tidak hanya dalam mata pelajaran kewarganegaraan, tetapi juga disisipkan dalam pelajaran lain seperti matematika.
Selain itu, ia menegaskan bahwa Bawaslu harus menjadi lembaga adaptif dan visioner, bukan hanya bekerja dalam siklus pemilu lima tahunan.
“Bawaslu harus punya dua mode: mode pegawai pemilu saat tahapan berlangsung, dan mode penjaga demokrasi di luar tahapan. Keduanya sama pentingnya,” kata Adnan.
Ia juga sepakat dengan sampaian yang sebelumnya dipaparkan Ibu Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur, Eka Rahmawati, ke depan Bawaslu perlu memiliki indikator kinerja sendiri yang terukur, bukan hanya klaim keberhasilan tanpa dasar metodologis.
“Keresahan bukan pada isu pembubaran, tapi pada seberapa terukurnya kinerja Bawaslu. Itulah bentuk pertanggungjawaban yang sesungguhnya,” pungkasnya.
Kegiatan ini diakhiri dengan apresiasi kepada Bawaslu Provinsi Jawa Timur dan Bawaslu Kabupaten yang dinilai berhasil membuka ruang refleksi dan kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat demokrasi di tingkat daerah.
Penulis: Humas Bawaslu Kabupaten Madiun