Bawaslu Jatim Bahas Eksaminasi Putusan Pelanggaran Administratif Pemilu DPD 2024
|
Madiun, 26 Agustus 2025 — Bawaslu Provinsi Jawa Timur menggelar diskusi hukum seri ke-6 bertajuk “Kajian Regulasi dan Pelaksanaan Pengawasan Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2024: Eksaminasi Putusan Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu Nomor 002/LP/ADM.PL/BWS.PROV/16.00/IV/2024”, Selasa (26/8). Diskusi yang berlangsung secara daring ini menghadirkan narasumber dari Bawaslu, KPU, akademisi hukum tata negara, serta diikuti pula oleh Bawaslu kabupaten/kota, termasuk Bawaslu Kabupaten Madiun.
Anggota Bawaslu Jatim Dewita Hayu Shinta dalam sambutannya menegaskan bahwa forum diskusi hukum ini tidak hanya bertujuan memperkuat kapasitas pengawas pemilu, tetapi juga memberi masukan terhadap perubahan regulasi, khususnya terkait putusan pelanggaran administrasi.
Rusmifahrizal Rustam, Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Jatim, memaparkan pentingnya menguji kebenaran putusan 002 terkait pencalonan anggota DPD. Ia menyoroti adanya persoalan administratif, termasuk kewajiban mundur dari jabatan yang dibiayai APBN dan persoalan legal standing pelapor. “Kami menilai pelapor memiliki legal standing karena ada surat tugas resmi dari lembaga pemantau pemilu,” jelas Rusmifahrizal.
Dari sisi penyelenggara, Insan Qoriawan selaku Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa KPU Jatim, menekankan bahwa verifikasi pencalonan anggota DPD mengacu pada dokumen resmi dari calon. Menurutnya, KPU provinsi hanya menjembatani proses dengan KPU RI yang memiliki kewenangan penuh atas sistem informasi pencalonan (Silon). “Kami siap terbuka dan mendampingi proses klarifikasi bersama Bawaslu, tetapi akses penuh ada di KPU RI,” ujarnya.
Sementara itu, akademisi hukum tata negara Universitas Airlangga, Radian Salman, memberikan tanggapan kritis atas putusan perkara. Ia menilai ada tiga hal pokok yang perlu dibuktikan, yakni keharusan mengundurkan diri, bentuk pengunduran diri, serta kejelasan legal standing pelapor. “KPU seharusnya tidak sekadar mencocokkan dokumen, tapi juga memperhatikan aspek verifikasi faktual. Putusan ini menunjukkan adanya persoalan dalam penilaian alat bukti dan perlindungan hak publik,” katanya.
Selain jajaran provinsi, diskusi ini juga diwarnai partisipasi aktif Bawaslu Kabupaten Madiun bersama perwakilan Bawaslu kabupaten/kota lainnya. Kehadiran mereka diharapkan memperkuat koordinasi dan konsolidasi pengawasan di tingkat daerah, terutama dalam menghadapi persoalan serupa pada tahapan pemilu mendatang.
Diskusi turut menyinggung kontradiksi antara kesimpulan dan amar putusan, yang dinilai mencerminkan keterbatasan kewenangan lembaga penyelenggara pemilu. Radian Salman menegaskan perlunya perubahan regulasi untuk memperjelas mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi. “Seseorang yang nyata-nyata melanggar seharusnya tidak bisa menikmati hak hukum, tapi ketiadaan aturan spesifik justru menimbulkan celah hukum,” ujarnya.
Menutup diskusi, para narasumber sepakat bahwa pembelajaran dari perkara ini perlu menjadi pijakan dalam penyusunan regulasi yang lebih jelas, baik di tingkat Undang-Undang Pemilu maupun peraturan teknis Bawaslu dan KPU.
Penulis: Humas Bawaslu Kab Madiun