Bawaslu Jatim Diskusikan Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Politik Uang
|
Madiun, 15 Juli 2025 — Bawaslu Provinsi Jawa Timur menggelar diskusi daring yang membahas pentingnya penanganan pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis, masif (TSM), serta masalah politik uang pada Selasa, (15/7/2025). Diskusi ini bertujuan untuk menggali solusi terkait pelanggaran Pemilu yang sering muncul, termasuk praktik politik uang yang berpotensi merusak integritas demokrasi. Hadir sebagai narasumber dalam acara ini A. Warits, Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Timur; Dewita Hayu Shinta, anggota Bawaslu Jawa Timur; Dr. Bahtiar, S.H., M.H., M.Si, Koordinator Tenaga Ahli Bawaslu RI; serta Nurhalina, M.Epid, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Informasi Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah.
Warits dalam sambutannya menekankan bahwa diskusi ini sangat penting untuk memperkuat pemahaman mengenai pelanggaran TSM dan politik uang, serta untuk mencarikan solusi atas masalah tersebut. Menurutnya, pembahasan ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan masukan dalam penanganan pelanggaran, tetapi juga diharapkan bisa mendorong perubahan dalam peraturan pemilu yang akan datang agar lebih mampu mengatasi permasalahan yang sudah terjadi di Pemilu sebelumnya. "Diskusi ini penting, agar kita bisa menghasilkan usulan yang bermanfaat dan bisa didorong ke legislatif dan pemerintah, sehingga di masa mendatang, kita bisa mengatasi pelanggaran politik patrimonial dimana money politik dimaknai sebagai berkah," ujarnya.
Sementara itu, Dewita Hayu Shinta menjelaskan lebih lanjut mengenai peristiwa Pemilihan Bupati Barito Utara, Kalimantan Tengah, yang telah mengalami dua kali Pemungutan Suara Ulang (PSU). Paslon nomor urut 1 sempat memenangkan Pilkada dengan selisih 8 suara, namun paslon nomor urut 2 menggugat hasil Pemilu tersebut ke Mahkamah Konstitusi. MK memutuskan untuk melakukan PSU di dua TPS pada Maret 2025. Namun, meskipun paslon kedua unggul setelah PSU, hasil tersebut kembali digugat. Akhirnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 313/PHPU.BUP-XIII/2025 yang mendiskualifikasi kedua paslon tersebut dan memerintahkan PSU kembali pada Agustus 2025.
Dalam sesi tersebut, Dr. Bahtiar juga menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya menjaga integritas Pemilu, terutama terkait dengan masalah politik uang. Ia menegaskan bahwa politik uang kini harus dipandang sebagai "kejahatan konstitusional" yang dapat merusak sistem Pemilu dan menghancurkan legitimasi demokrasi. "Politik uang menciptakan demokrasi semu, merusak integritas Pemilu, dan melemahkan kontrak sosial dalam negara demokratis. Mahkamah Konstitusi telah memberikan sinyal tegas melalui putusannya, dan ini menjadi standar moral dan yuridis baru yang harus kita ikuti," kata Bahtiar.
Menurut Bahtiar, ada tiga hal penting yang perlu dicatat dalam Putusan MK ini. Pertama, politik uang dianggap sebagai kejahatan konstitusional, bukan sekadar pelanggaran administratif atau pidana biasa. Kedua, konsep pelanggaran TSM diperluas untuk mencakup tidak hanya jumlah wilayah tetapi juga dampak dan intensitasnya terhadap hasil Pemilu. Ketiga, MK telah menerapkan diskualifikasi kolektif sebagai langkah yang disebut "constitutional shock therapy" untuk memberikan sinyal keras terhadap praktik curang dalam Pemilu.
Selain itu, Bahtiar juga mengkritisi kewenangan Bawaslu yang masih terbatas dalam menangani pelanggaran Pemilu. "Bawaslu hanya bisa menangani pelanggaran administratif, tanpa kewenangan pro-justitia. Ini menciptakan paradoks hukum di mana kita tahu ada pelanggaran, tapi tidak bisa menindak dengan tegas," ujarnya. Menurut Bahtiar, Bawaslu memerlukan lebih banyak kewenangan untuk dapat menindak pelanggaran secara lebih efektif, termasuk dalam mengakses bukti dan memanggil saksi.
Nurhalina menjelaskan, "Bawaslu Kabupaten Barito Utara merekomendasikan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di dua TPS setelah ditemukan pelanggaran, namun hanya satu TPS yang dilaksanakan oleh KPU. Setelah PSU, hasil perolehan suara tetap tipis, sehingga salah satu paslon mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 28/PHP.BUP-XXIII/225 memerintahkan PSU di dua TPS, namun menjelang pelaksanaan PSU pada 22 Maret 2025, Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah mengambil alih penanganan laporan politik uang yang meningkat. Sayangnya, laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena tidak memenuhi ketentuan Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020 yang mensyaratkan pelanggaran TSM dengan dampak luas terhadap hasil Pemilu."
Selain itu, terkait Putusan MK Nomor 313/PHPU.BUP-XIII/2025, Nurhalina menambahkan, "Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi kedua paslon dan memerintahkan PSU ulang di seluruh TPS Kabupaten Barito Utara. PSU ini harus menggunakan DPT, DPTb, dan DPK yang sama dengan yang digunakan pada pemungutan suara 27 November 2024. PSU juga akan diikuti oleh paslon baru yang diajukan oleh partai politik pengusung, dan harus dilaksanakan maksimal 90 hari setelah putusan dibacakan, yaitu pada Agustus 2025.".
Diskusi ini memberikan gambaran mengenai tantangan yang dihadapi Bawaslu dalam menangani pelanggaran Pemilu, terutama yang berkaitan dengan politik uang dan pelanggaran TSM. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan arahan yang jelas melalui Putusan MK Nomor 313/PHPU.BUP-XIII/2025, penegakan hukum yang lebih tegas dan perbaikan kewenangan Bawaslu menjadi hal yang mendesak agar pelanggaran Pemilu dapat ditangani dengan lebih efektif di masa mendatang.
Dengan demikian, diskusi ini diharapkan dapat memberikan solusi konkret dalam mengatasi permasalahan yang terjadi, serta mendorong perubahan yang lebih baik dalam sistem pemilu Indonesia, sehingga Pemilu yang akan datang bisa lebih adil, bersih, dan demokratis.
Penulis: Humas Bawaslu Kab Madiun