Dari Civic Education ke Literasi Politik: Dr. Sri Setyadji, S.H., M.Hum Ajak Kembalikan Pendidikan Politik dan Demokrasi di Sekolah
|
Madiun, 30 Oktober 2025 — Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Dr. Sri Setyadji, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa profesi penyelenggara pemilu merupakan profesi yang sangat mulia sekaligus sarat godaan. Karena itu, ia menekankan pentingnya integritas, literasi politik, dan pendidikan demokrasi untuk memperkuat kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Hal itu disampaikan Dr. Setyadji saat menjadi narasumber sesi kedua dalam kegiatan “Penguatan Kelembagaan Bawaslu melalui Kerjasama Strategis dengan Organisasi Keagamaan dan Stakeholder di Kabupaten Madiun”, yang digelar di Aston Hotel Madiun, Kamis (30/10).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Bawaslu Jawa Timur dan Bawaslu Kabupaten Madiun ini dihadiri oleh para mitra serta pemangku kepentingan, termasuk perwakilan DPR RI, akademisi, dan organisasi keagamaan, dinas pendidikan, lembaga pendidikan serta stakeholder lainnya.
Dalam paparannya, Dr. Setyadji menyoroti kerumitan sistem pemilu di Indonesia yang disebutnya sebagai “pemilu paling njlimet di dunia”. Beliau menilai, kompleksitas tersebut tidak hanya terjadi pada tahap penghitungan suara, tetapi juga dalam proses sosial dan politik yang menyertainya.
“Banyak pemilu yang hitungannya njlimet, padahal pemenangnya sudah jelas. Ini menjadi tantangan besar, karena demokrasi kita masih diwarnai berbagai godaan dan disinformasi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti maraknya industri survei politik yang telah menjelma menjadi bisnis elektoral dari hulu ke hilir. Dari sisi akademis, Dr. Setyadji menilai banyak hasil survei tidak akurat secara metodologis.
Lebih jauh, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 tersebut menjelaskan bahwa integritas penyelenggara pemilu merupakan kunci utama dalam menjaga kedaulatan rakyat. Menurutnya, integritas berarti menjalankan amanah secara adil, jujur, dan sejalan dengan kode etik.
“Integritas itu bukan hanya soal pribadi yang bersih, tapi juga soal sistem yang berpihak kepada penyelenggara agar bisa bekerja tanpa tekanan,” tegasnya.
Ia pun memaparkan sejumlah indikator penyelenggara berintegritas:
- Regulasi harus berpihak pada independensi penyelenggara.
- Anggaran harus disiapkan tepat waktu dan terpisah dari intervensi eksekutif.
- Pemerintah daerah tidak boleh cawe-cawe dalam proses pemilu.
- Peserta pemilu wajib memiliki kapasitas dan moralitas tinggi.
Selain integritas, Dr. Setyadji menekankan pentingnya pendidikan politik sejak dini untuk membangun kesadaran demokrasi masyarakat. Ia mengusulkan agar pendidikan politik dimasukkan kembali dalam kurikulum sekolah, seperti pendidikan kewarganegaraan (Civic Education) di masa lalu.
“Sepuluh tahun ke depan, anak-anak yang hari ini belajar politik di sekolah akan menjadi pemilih dengan kesadaran kritis. Di situlah demokrasi sejati tumbuh,” tuturnya.
Ia menutup paparannya dengan refleksi: demokrasi hanya akan berjalan sehat jika didukung oleh rakyat yang melek politik dan penyelenggara yang berintegritas.
“Kedaulatan rakyat harus dijaga dengan amanah, bukan dengan manipulasi. Demokrasi tidak boleh hanya menjadi rutinitas lima tahunan, tapi menjadi cermin kedewasaan bangsa,” pungkasnya.
Penulis: Humas Bawaslu Kabupaten Madiun