Lompat ke isi utama

Berita

Politik Uang Bukan Kearifan Lokal, Kearifan Lokal Itu Tidak Pernah Jelek dan Mudarat

30102025 - Penguatan Kelembagaan

Dosen Fakultas Hukum UNTAG Surabaya, Dr. Sri Setyadji, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa politik uang bukan bagian dari kearifan lokal, melainkan penyimpangan budaya yang lahir dari rendahnya literasi politik masyarakat. Pernyataan itu disampaikan dalam kegiatan “Penguatan Kelembagaan Bawaslu melalui Kerjasama Strategis dengan Organisasi Keagamaan dan Stakeholder di Kabupaten Madiun” di Aston Hotel Madiun, Kamis (30/10/2025), yang juga menyoroti pentingnya pendidikan politik berkelanjutan untuk membangun budaya demokrasi bersih dan berintegritas.

Madiun, 30 Oktober 2025 — Budaya politik uang yang masih mengakar di masyarakat dinilai sebagai bentuk penyimpangan budaya, bukan bagian dari kearifan lokal. Hal itu ditegaskan Dr. Sri Setyadji, S.H., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum UNTAG Surabaya, dalam kegiatan “Penguatan Kelembagaan Bawaslu melalui Kerjasama Strategis dengan Organisasi Keagamaan dan Stakeholder di Kabupaten Madiun” yang digelar di Aston Hotel Madiun, Kamis (30/10).

Pernyataan tersebut muncul dalam sesi tanya jawab yang berlangsung hangat, ketika Heri Sutrisno, peserta dari Partai Golkar, menyinggung praktik politik uang yang masih dianggap wajar di masyarakat pedesaan.

“Masyarakat tahu politik uang itu haram, tapi secara kultural ada budaya ‘aji mumpung’, dianggap sangu di masa paceklik, dan rasa sungkan kepada calon kuat atau sanak saudara, kerabat yang mencalonkan diri. Lalu bagaimana cara mengubah budaya seperti ini?” tanyanya.

Moderator menanggapi bahwa politik uang sudah berakar sejak budaya pemilihan kepala desa, sehingga perlu dibangun “budaya tanding” seperti gerakan anti politik uang yang masif di semua lapisan masyarakat.

Menanggapi hal itu, Dr. Sri Setyadji menegaskan bahwa budaya tersebut bukanlah kearifan lokal, melainkan kejelekan lokal yang tumbuh karena kemiskinan struktural dan minimnya pendidikan politik.

30102025 - Penguatan Kelembagaan

“Kearifan lokal itu tidak pernah jelek. Kalau masyarakat sudah melek politik, mereka tak akan tergoda amplop. Politik uang bukan budaya, tapi penyimpangan dari nilai luhur,” tegasnya.

Ia menambahkan, pendidikan politik berkelanjutan menjadi satu-satunya solusi jangka panjang. “Janji Allah, siapa yang tinggi ilmunya, ditinggikan derajatnya. Maka bukan hanya tanggung jawab KPU, Bawaslu atau Partai Politik namun juga negara wajib melalui lembaga pendidikan hadir memberi pendidikan politik agar rakyat khususnya pemilih pemula untuk cerdas memilih,” tambahnya.

Sementara itu, Muhammad Adnan Maghribbi Sairil Ashar dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jawa Timur menilai praktik politik uang juga diperkuat oleh sistem pemilu yang mahal.

“Sistem proporsional terbuka membuat biaya kampanye tinggi. Reformasi sistem dan pembatasan dana kampanye harus segera dilakukan agar tidak memperparah politik uang,” jelasnya.

Moderator kemudian menutup sesi dengan mencontohkan beberapa desa di Madiun yang telah mempraktikkan politik bersih.

“Ada calon kepala desa yang sepakat menolak politik uang. Bahkan yang mencoba main uang justru kalah,” ujarnya.

Kegiatan yang diinisiasi Bawaslu Provinsi Jawa Timur berkolaborasi dengan Bawaslu Kabupaten Madiun ini mendapat apresiasi luas karena berhasil menghadirkan diskusi reflektif dan memperkuat komitmen bersama melawan politik uang serta meneguhkan nilai kearifan lokal yang sejati.

Penulis: Humas Bawaslu Kabupaten Madiun